TULISAN SOFTSKILL “HUKUM PERIKATAN”
DOSEN : YUNNI YUNIAWATY
NAMA : ILMA SYAHIDA AROFI
NPM : 23211509
KELAS : 2EB25
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah, rahmat dan hidayah yang dilimpahkan-Nya, kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Perikatan”.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat dalam
melaksanakan tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurusan Akuntansi Jenjang S1 pada
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma.
Dengan segala keterbatasan, kami sepenuhnya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam pembahasan maupun tata bahasanya atau cara penulisannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kiranya koreksi dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak khususnya para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhir kata kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bekasi, 19 Mei 2013
Ilma Syahida Arofi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu perikatan harus dilakukan secara
sukarela, karena perikatan secara yuridis bersandar pada asas kebebasan
berkontrak yaitu kesepakatan kontrak itu tidak dipaksakan untuk dilakukan
tetapi harus bersumber pada kehendak dan itikad baik. Apabila kontrak telah
disepakati dan disahkan maka dasar hukum dari kekuatan suatu kontrak adalah
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu kontrak yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian
ditemukan wanprestasi terhadap kontrak yang telah disepakati. Oleh karena itu
untuk mengatasi sengketa di antara para pihak ditawarkan cara penyelesaian
perkara yaitu melalui peradilan atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal dengan mediasi dan konsinyasi.
Sedangkan penyelesaian perkara di luar peradilan umum dikenal lembaga arbitrase
dan lembaga litigasi. Kedua lembaga ini lahir karena undang-undang yang
mengatur lembaga peradilan umum yang ada saat ini dipandang kurang mampu untuk
menjamin terselesaikannya masalah yang disengketakan. Hal ini disebabkan karena
sedemikian banyak masalah harus diselesaikan oleh pihak pengadilan sehingga
harus menunggu giliran dan ditambah lagi dengan menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, para pihak lebih suka
menggunakan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum/non-litigasi untuk
menyelesaikan perkaranya,baik dengan cara mediasi, negosiasi, konsiliasi
ataupun arbitrase. Paradigma non-litigasi ini dalam mencapai keadilan lebih
mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan
pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil
penyelesaian sengketa kearah win-win solution (Adi Sulistiyono 2006:5).
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Dapat memahami dan menjelaskan Pengertian, Dasar
Hukum, dan Asas-asas Perikatan serta Wanprestasi dan Hapusnya Perikatan
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa
Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam
literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat
berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan,
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu
pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan
menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap
menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah
tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan
verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak
yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa
pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut
menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian
yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat
dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang
abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara
perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari
suatu perjanjian.
Di dalam hukum
perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut
dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal,
dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang
timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal
dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
- Perikatan terjadi karena undang-undang
semata
Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di
atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
- Perikatan terjadi karena undang-undang
akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi
bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Asas-asas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum
perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut asas kebebasan
berkontrak dan asas konsensualisme.
² Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata
yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
² Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Kata Sepakat antara
Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk Membuat
Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak
harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di
bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal
Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus
jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang
Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan
(causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi
dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul
apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari
wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian
yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering
diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan
tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya
Perikatan
Perikatan itu bisa
hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada
10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang
(inovatie)
Novasi adalah suatu
persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam novasi
yaitu :
1) Novasi obyektif,
dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif
pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah
satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
- Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak
memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang
adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH
Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang
menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau
hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur,
sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari
perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan
sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu
musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan
bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu
kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur.
Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan
adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan
Bidang kebatalan ini
dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat
dibatalkan.
Disebut batal demi
hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B
tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum.
Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan
syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada
asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan
yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal
1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal
tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
(1) Lampau waktu untuk memperolah hak milik
atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
(2) Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah
terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat
dan praktis.
BAB III
P E N U T U P
3.1 Kesimpulan
Jadi, kesimpulan dari
makalah di atas dengan materi hukum perikatan dapat kita simpulkan bahwa
hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni pihak
yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi,
begitu juga sebaliknya. Maka dari pengertian hukum perikatan di atas, dapat
dihubungkan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak
menumbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Dan
makalah ini pun membahas tentang seluk-beluk mengenai hukum perikatan di antara
nya : pengertian hukum perikatan, dasar hukum perikatan, azas-azas hukum
perikatan, wanprestasi dan akibat-akibatnya, dan hapusnya perikatan. Hukum
perikatan pun tertera dalam undang-undang yang berbunyi :
1. Perikatan ( Pasal
1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal
1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang (
Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Dan disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
adalah :
1. Kata Sepakat antara
Para Pihak yang Mengikatkan Diri
2. Cakap untuk Membuat
Suatu Perjanjian
3. Mengenai Suatu Hal
Tertentu
4. Suatu sebab yang
Halal
REFERENSI :
- http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
- http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar