Jumat, 30 Maret 2012

DISTRIBUSI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI ERA REFORMASI



TULISAN SOFTSKILL

PEREKONOMIAN INDONESIA






DISTRIBUSI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN 
PEREKONOMIAN INDONESIA PADA ERA  REFORMASI





Oleh:


Antonius Atmadinata           20211988


Gatot Sugara                         23211016


Ilma Syahida Arofi               23211509


Ratu Anggun Pertiwi           25211908



Kelas 1EB25



UNIVERSITAS GUNADARMA









SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA


BAB I

PENDAHULUAN


Kunci dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah dan eksploitasi sumber daya manusia. Hipotesis Kusnets (1963) yang menyatakan bahwa sejalan dengan waktu ketidakmerataan (inequality) akan meningkat akan tetapi kemudian akan menurun karena adanya penetesan ke bawah (trickle down effect), sehingga kurva akan berbentuk seperti huruf U terbalik (Inverted U). Akan tetapi pada kenyataannya penetesan ke bawah (trickle down effect) tidak selalu terjadi, sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin semakin besar.

Gambar 1. Kurva Kusnets

Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Ketidakmerataan juga menjadi masalah dunia. Menurut data World Development Report 2006, 15,7% penduduk Indonesia pada tahun 1996 berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 27,1 % pada tahun 1999. Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan, Gini index diukur dengan menghitung area antara kurva Lorenz dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar.


Gambar 2. Lingkaran Setan (Vicious Circle)


Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah ketidakmerataan pendidikan. Gini Index untuk pemerataan pendidikan di Indonesia mencapai 0,32, angka ini menunjukkan adanya ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan, hal ini terus menjadi lingkaran setan (vicious circle). Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar. Kesenjangan ini juga akan mengakibatkan kerawanan sosial.

Di Indonesia persentase balita yang kekurangan gizi mencapai 27,3% pada tahun 2000. Angka ini cukup besar dan harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah. Tingkat gizi yang rendah akan mempengaruhi produktivitas sehingga tingkat pendapatan akan rendah. Fasilitas kesehatan yang kurang menjangkau ke daerah terpencil di Indonesia menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Tingginya tingkat mortalitas balita yaitu 41 kematian balita per 1.000 balita dan tingkat mortalitas ibu yang mencapai 230 kematian ibu per 100.000 kelahiran menunjukkan masih rendahnya kualitas kesehatan.

Pemerataan hasil pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi perlu diupayakan supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.


BAB II

PEMERATAAN DAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA PADA ERA REFORMASI



A.                       Pengertian Sistem Perekonomian


Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut.

Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.

Alokasi dana pembangunan untuk pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan akan lebih menjamin tercapainya pemerataan dalam jangka panjang. Kebijakan alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pendidikan serta pemerataan fasilitas kesehatan. Biaya pendidikan yang lebih murah dan tersedianya fasilitas kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau akan langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.




Dalam bidang pendidikan, kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS) belum mampu meringankan beban bagi masyarakat secara signifikan. Pada kenyataannya orang tua murid masih terbebani dengan biaya lainnya, seperti uang seragam yang lebih mahal daripada harga di pasaran, buku yang selalu ganti setiap tahunnya, dan biaya lainnya. Saat musim pendaftaran sekolah, banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah negeri karena biaya yang tidak terjangkau. Akibatnya mereka hanya menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki reputasi kurang baik, bahkan ada juga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Beban biaya pendidikan yang semakin mahal membuat orang tua yang kurang mampu tidak dapat menyekolahkan anak mereka. Anak yang seharusnya masih mendapatkan pendidikan justru sudah bekerja mencari nafkah untuk menyambung hidup keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan berakibat rendahnya tingkat gaji yang diperoleh. Pekerja tanpa pendidikan hanya dinilai sebagai unskilled labor yang tidak memiliki bargaining position. Daya tawar yang rendah ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan yang mereka peroleh. Sehingga pada waktu mereka masih tetap saja tidak dapat menyekolahkan anak mereka sampai ke tingkat pendididkan yang tinggi.

Di sisi lain, orang tua yang kaya mampu menyekolahkan anak mereka sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Dengan tingginya tingkat pendidikan dengan mudah mereka mendapatkan pekerjaan yang bergengsi serta memiliki bargaining position yang baik sehingga mendapatkan tingkat pendapatan yang tinggi.

Lingkaran setan ini dapat diputus apabila pemerintah menciptakan kebijakan supaya rakyat dapat memperoleh pendidikan lebih merata, dengan jalan meningkatkan subsidi untuk pendidikan, sehingga semua orang mendapatkan mutu pendidikan yang sama. Dengan tingkat pendidikan yang merata diharapkan tingkat pendapatan akan lebih merata sehingga rakyat benar-benar dapat merasakan manfaat pembangunan.

Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan dana kesehatan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) disatukan dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Penyatuan dana ini berakibat semakin kurang transparan penyediaan dana kesehatan. Apabila dana kesehatan kurang maka akan terbatas sekali pengadaan fasilitas kesehatan.

Alokasi dana untuk kesehatan yang hanya 2,3% dari pengeluaran pemerintah sangat kecil. Di negara maju alokasi dana untuk kesehatan jauh lebih besar, Korea Selatan mengalokasikan 10,08% pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan yang lebih merata dapat meningkatkan produktifitas sumber daya manusia.



Sumber daya manusia yang sehat akan menghasilkan sumber daya manusia yang produktif. Dengan produktivitas yang tinggi, suatu negara akan memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan komparatif dinamis dirintis oleh Michael E. Porter (1990) dan Paul Krugman (1980). Kedua ahli sepakat bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan (created comparative advantage). Dengan kata lain, mereka menentang teori Richardo dan Ohlin yang cenderung memandang keunggulan komparatif yang alami. Argumennya faktor yang menopang tingkatan tertinggi dalam keunggulan komparatif harus diperbaharui atau diciptakan setiap saat lewat investasi modal fisik dan manusia agar diperoleh keuntungan komperatif dalam produk yang terdiferensiasi dan teknologi produksi. Karena itu bisa dipahami apabila industri yang memiliki keunggulan komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri padat sumber daya (misalnya kayu, beras) dan padat karya yang tidak terampil (misalnya tekstil dan rokok). Ini berlainan dengan industri yang memiliki keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya padat modal (misalnya mesin dan baja) dan padat teknologi (misalnya komputer dan pesawat terbang).

Michael E. Porter menjelaskan bahwa dalam era persaingan global, suatu bangsa/negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu (attribute) yang digambarkan sebagai suatu diamond (diamond strategy). Michael E. Porter menjelaskan bahwa tidak ada korelasi langsung antara 2 faktor produksi yaitu sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang murah, yang dimiliki oleh suatu negara yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah tenaga kerjanya yang sangat besar yang proporsional dengan luas negaranya tetapi lemah dalam daya saing perdagangan internasional. Peran pemerintah sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang tersedia dalam berbagai kebijakan makronya, dalam hal ini menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

Bagi pembangunan ekonomi, kualitas buruh adalah lebih penting, dengan mengadakan pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan diharapkan pekerja Indonesia lebih berkualitas dan produktif. Produktifitas ini yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian. Sumber daya manusia yang berkualitas juga diharapkan cepat menyerap penguasaan teknologi. Melalui program pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mendukung pembangunan. Sumber daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang.

Pemerataan pendidikan dapat dilakukan dengan jalan menyediakan sekolah gratis sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sekolah gratis ini dalam arti tidak ada pungutan biaya apapun, baik seragam, biaya operasional, maupun buku. Diharapkan juga sekolah gratis ini tersedia ke seluruh penjuru nusantara. Operasional sekolah harus mampu menekan biaya yang tidak perlu sehingga tidak terlalu membebani keuangan negara. Dengan menyediakan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi, diharapkan tingkat penghasilan penduduk akan meningkat karena sumber daya manusia yang dihasilkan lebih berkualitas.

Fasilitas kesehatan yang lebih terjangkau oleh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan tingkat produktifitas sumber daya manusia. Penurunan biaya kesehatan disertai peningkatan mutu pelayanan kesehatan sangat diperlukan oleh masyarakat sebagai salah satu hasil yang dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat miskin.

Di samping alokasi dana yang tepat, pemerintah juga perlu memperhatikan masalah penggunaan dana yang efisien. Pemerintah harus mampu menindak kecurangan yang merugikan pembangunan.



B. Pencanaan Pembangunan Sesudah Masa Reformasi


          Perencanaan pembangunan pasca reformasi maupun orde baru sebenarnya dipengaruhi oleh Teori Modernisasi dan Teori Dependensi. Teori Moderenisasi berakar pada paradigma pembangunan struktural, sedangkan Teori Dependensi berakar dari pembangunan konflik. Modernisasai mewarisi pemikiran teori evolusi dan teori fungsionalisme dengan tokoh-tokoh misalnya Talcott Parson, Max Weber dan lain-lain. Teori Dependensi lahir dari dua induk, pertama berasal dari pemikiran ahli ekonomi liberal Raul Prebisch sedangkan yang kedua berasal dari teori-teori Marxis tentang Imperialisme dan Kolonialisme, serta seorang pemikir Marxis yang merevisi pandangan Marx tentang cara mengurai hubungan negara dunia ketiga dengan negara maju, serta memberikan makna tentang pembangunan bagi Negara Dunia Ketiga.

Kedua Teori yang berakar dan dua Paradigma diatas melahirkan strategi pembangunan yang berbeda pula di Negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, secara bergantian dan keduanya pernah diterapkan secara bergantian,yang terbagi dalam dua dekade besar yaitu 1945 -1966 dan pada 1966 -1990-an. Sedangkan sejak 1990-an hingga sekarang kita menggunakan strategi pembangunan campuran.

Strategi Pembangunan campuran ini ditandai antara lain oleh hal-hal berikut, kita masih membuka tangan bagi masuknya modal asing, walaupun selektif. Kita masih mengandalkan investasi, khususnya dari luar untuk perluasan lapangan kerja. Defisit APBN tidak ditutup oleh pinjaman luar negeri tetapi pemasukan pajak. Indonesia keluar dari konsep IMF.

Indonesia mengandalakan Kebijakan Otonomi Daerah untuk meningkatkan pemerataan dan pendapatan daerah, meski tetap mempertahankan kebijakan Pembangunan berkelanjutan. Secara serius mengandalakan pembiayaan pembangunan proyek-proyek termasuk proyek infrastruktur kepada swasta.

Adapun perencanaan pembangunan pasca reformasi adalah Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari: 

a.     Rencana pembangunan jangka panjang; 

b.     Rencana pembangunan jangka menengah; dan 

c.      Rencana pernbangunan tahunan. 


          Orde Reformasi, dalam membuat perencanaan pembangunan berpedoman kepada Undang-Undang No 25 Tahun 2004. Meskipun sudah ada pedomannya tetapi gerak roda pemerintahan seperti tanpa arah. Kepincangan perjalanan negara pasca Reformasi bisa terlihat dari banyak aspek, seperti tidak seimbangnya antara kemajuan ekonomi makro dan mikro; juga tidak seimbangnya antara tuntutan rakyat dan ketersediaan barang dan jasa yang dihasilkan negara. Akibat tidak adanya keseimbangan, hal inilah yang menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat kepada negara. Hal ini terlihat dari agenda pembangunan 2004-2009 yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, dan mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis. Sampai sekarang agenda tersebut belum dapat terlaksana dengan baik. Semua kejadian ini jelas akibat perjalanan roda pemerintahan yang tanpa peta, tanpa arah, dan tidak konseptual. Semoga pemerintah dapat mengubah perencanaan pembangunan ke arah yang lebih baik dan tentunya melaksanakan dengan baik pula.



C.Perekonomian Indonesia pada Era Reformasi


Ekonomi Indonesia sejak awal Reformasi hingga saat ini optimis pertumbuhan ekonomi yang meningkat.dengan pertumbuhan dan pendapatan nasional yang semakin meningkat kita dapat melihat perkembangan dan kemajuan kita pada negara lain. dengan pendapatan nasional per tahun indonesia mampu memberikan kemajuan.ekonomi makro yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi saat ini.salah satu pertumbuhan ekonomi itu dapat dilihat dengan permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi.

Di lihat dari sedikit perekonomian makro dibidang perbankan ini dapat kita rasakan pertumbuhan ekonomi itu meningkat.Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan I-2011 masih akan tumbuh tinggi, yakni di kisaran 6,4 persen. Sehingga, sepanjang tahun ini, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 6-6,5 persen.

            Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengungkapkan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi XI (membidangi keuangan dan perbankan) DPR, Senin (14/2). "Prospek perekonomian ke depan akan terus membaik dan diperkirakan akan lebih tinggi," kata Darmin.

 Dia mengatakan, permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi, juga akan tumbuh pesat. Ia menambahkan, Indonesia sudah melalui tantangan yang di 2010. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di tahun lalu, yakni 6,1 persen, akan mempermudah mencapai target pertumbuhan di 2011. Meski demikian, inflasi tinggi masih akan menjadi tantangan serius di tahun ini.

Darmin menambahkan, transaksi berjalan di triwulan I-2011 juga masih akan surplus, meski cenderung menurun. Transaksi modal dan financial juga akan surplus, dengan aliran modal asing langsung (FDI) yang makin deras. Kinerja neraca pembayaran Indonesia sepanjang tahun ini akan ditopang oleh cadangan devisa yang cukup kuat. Di Januari 2011, cadangan devisa Indonesia mencapai USD 95,3 miliar, atau cukup untuk 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Sisi buruk yang harus diperhatikan adalah adanya tanda-tanda capital outflow atau aliran modal keluar yang mulai terasa. Namun, Darmin optimistis hal tersebut hanya bersifat sementara. "Capital outflow bersifat temporer, karena didukung fundamental ekonomi yang cukup kuat," kata Darmin.BI masih akan lakukan intervensi terhadap rupiah

Secara umum, ia mengatakan, stabilitas sistem keuangan masih cukup terjaga, dengan fungsi intermediasi perbankan yang terjaga dengan baik. Hingga Desember 2010, kredit perbankan tumbuh 22,8 persen. "Pertumbuhan terjadi di semua segmen kredit termasuk usaha  mikro kecil dan menengah (UMKM)Penyaluran kredit kepada sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) PT Bank Permata tahun ini akan lebih dioptimalkan. Bank Permata manargetkan pertumbuhan kredit tersebut sebesar 30%.  
          Sehubungan hal itu, ia menyatakan, pihaknya terus menggenjot penyaluran kredit untuk sektor UMKM sehingga pertumbuhannya bisa mencapai 20 - 30% dari tahun lalu. Sementara pada tahun 2010 penyaluran kredit UMKM mencapai lebih dari Rp 2 triliun.

Selain meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM, pada tahun ini pun Bank Permata Bandung berencana lebih mengoptimalkan pelayanan. Hal itu diwujudkan dengan rencana penambahan jumlah unit kantor cabang di Kota Bandung. 

"Rencananya tahun 2011 ini kita akan membuka dua kantor cabang baru di Kota Bandung, yaitu di Jln. Soekarno-Hatta dan di Antapani," katanya.
Rencananya kantor cabang baru ini akan segera dibuka dalam waktu dekat ini sehingga hal tersebut bisa meningkatkan pelayanan kepada para nasabah.


D.  Pemerataan Pembangunan

Todaro (1985) mengutip dua pendapat dari dua orang tokoh yang berbeda latar belakangnya, namun apa yang mereka kemukakan mempunyai kemiripan yang mendasar, dan tampak bahwa kenyataannya banyak berlaku di beberapa bagian negara kita dewasa ini. Kedua tokoh tersebut adalah Adam Smith, seorang ekonom dan Pope John Paul II seorang negarawan dari Brazil. Adam Smith mengemukakan bahwa tidak ada masyarakat yang dapat maju dan berbahagia di tengah-tengah sebagian besar penduduknya yang berada dalam keadaan miskin yang menyedihkan. Sedangkan Pope John Paul II menyatakan bahwa sebuah masyarakat yang tidak adil secara sosial dan tidak bermaksud untuk memperbaikinya, masa depannya berada dalam keadaan bahaya.





1.    Pentingnya Distribusi Pendapatan

Banyak kerusuhan yang terjadi di berbagai bagian dari negara kita pada periode terakhir ini. Sebagian memang karena dipanaskan oleh situasi penyelenggaraan pemilu. Namun kalau kita perhatikan secara seksama, ada fenomena tindakan yang selalu muncul dalam setiap kerusuhan tersebut, yakni mendompleng pada kerusuhan untuk mencoba membuat redistribusi aset secara tidak sah. Toko-toko dihancurkan, dibakar dan dilempari. Sebagian barang-barangnya di ambil.Mobil dan kendaraan yang mewah dihancurkan. Berbagai kejadian tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan negara, tidak hanya secara materi, bahkan untuk kasus 23 Mei 1997 di Banjarmasin misalnya selain korban materi berupa kerusakan berbagai toko supermarkat dan hotel berbintang, juga jatuhnya korban nyawa yang tidak sedikit, sampai mencapai 123 orang (Banjarmasin Post, 31 Mei 1997).

Menurut beberapa ahli, akar permasalahan dari berbagai kerusuhan tersebut adalah pada adanya gap yang semakin menyolok antara golongan berpunya dan golongan tidak berpunya. Kesenjangan pendapatan yang timbul sudah berada pada tingkat yang memerlukan perhatian dan tindakan penanggulangan yang bersungguh-sungguh. Manifestasi dari kesepakatan bangsa yang dahulu melalui MPR menempatkan pemerataan sebagai skala prioritas utama dalam pembangunan, perlu lebih dinampakkan dalam berbagai tindakan nyata yang mengena pada sasarannya. Upaya pengentasan kemiskinan yang telah banyak berhasil dalam menghilangkan problema kemiskinan absolut, perlu diarahkan lebih intensif untuk juga menyelesaikan problema kemiskinan relatif.

Menurut Todaro (1985) distribusi pendapatan makin tidak merata dari tahun ke tahun. Banyak orang yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat telah gagal menghilangkan atau mengurangi kemiskinan , terutama dalam kaitannya dengan konsep kemiskinan relatif. Trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan kemudian menjadi polemik dan perbedaan pandangan para ahli dalam merumuskan berbagai kebijaksanaan pembangunan. Sampai kemudian pada tahun 1971, Mahbub Ul-Haq, seorang ekonom Pakistan menawarkan konsep yang tampaknya bisa menjembatani perbedaan pendapat tersebut. Mahbub menyatakan bahwa selama ini kita diajari untuk memperbaiki GNP sebagai suatu cara untuk mengatasi kemiskinan.Menurutnya, sebaiknya kita putar keadaan ini dengan menghilangkan kemiskinan sebagai suatu cara untuk meningkatkan GNP (Mahbub Ul-Haq, 1971).



Pembangunan wilayah pedesaan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan merupakan merupakan suatu konsep yang sejalan dengan pemikiran Mahbub tersebut, karena kantong-kantong kemiskinan pada umumnya berada di pedesaan.


2.     Mekanisme Pemerataan

Teori ekonomi klasik berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang, mekanisme pasar akan menciptakan pembangunan yang seimbang antar berbagai wilayah, namun Gunnard Myrdal tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurut Myrdal (1953) bahwa dalam proses pembangunan terdapat faktor-faktor yang akan memperburuk perbedaan tingkat pembangunan antar wilayah dan antar negara. Di samping ada juga faktor-faktor yang dapat memperbaikinya. Keadaan seperti ini terjadi sebagai akibat berlakunya suatu proses sebab akibat yang disebutnya sebagai circular cummulative causation.

Menurut Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan beberapa keadaan yang akan menimbulkan hambatan yang lebih besar kepada daerah-daerah yang lebih terkebelakang untuk berkembang.Keadaan-keadaan yang menghambat pembangunan ini digolongkannya sebagaibackwash effect. Di samping itu perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju dapat menimbulkan keadaan-keadaan yang akan mendorong perkembangan daerah-daerah yang lebih miskin. Keadaan ini dinamakan sebagai spread effect, atau disebut juga sebagai trickle down effectPemberdayaanmasyarakat pedesaan dimaksudkan untuk mempengaruhi dan memanipulasi keragaan faktor-faktor tertentu, sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mencegah terjadinya backwash effect, dan sebaliknya mendukung terjadinya spread effect.

Menurut Sukirno (1985) di antara faktor-faktor yang akan menimbulkan backwash effect adalah :
1)     Corak perpindahan perpindahan penduduk dari daerah miskin ke daerah yang lebih maju. Pada umumnya penduduk yang berpindah adalah tenaga kerja yang lebih muda, mempunyai semangat dan etos kerja yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih baik daripada yang tetap tinggal di daerah miskin.

2)     Corak pengaliran modal. Pada umumnya permintaan modal di daerah miskin kurang, selain itu modal lebih terjamin dan menghasilkan di daerah yang lebih maju. Pola dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri dari daerah yang lebih maju. Ini menyebabkan daerah miskin mengalami kesukaran untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya.

3)     Jaringan pengangkutan jauh lebih baik di daerah yang lebih maju, sehingga kegiatan produksi dan perdagangan mereka dapat diselenggarakan secara lebih efisien.

4)     Sedangkan faktor yang mendorong terjadinya spread effect adalah berupa pertambahan permintaan dari daerah yang lebih kaya terhadap produksi dari daerah yang lebih miskin. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan terhadap hasil pertanian, hasil industri rumah tangga dan hasil industri barang konsumsi.Hasil-hasil tersebut merupakan komoditas utama bagi daerah yang lebih miskin.

Hanya saja sayangnya spread effect ini biasanya jauh lebih lemah daripadabackwash effect. Oleh karenanya, apabila dibandingkan tingkat pembangunan di pedesaan (yang relatif miskin) dengan perkotaan (yang relatif maju), makapembangunan yang tercapai di daerah pedesaan selalu lebih lambat daripada di perkotaan. Dalam jangka panjang, keadaan ini dapat memperburuk pola distribusi pendapatan, baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat.


3.     Pembangunan dan Potensi Masyarakat

Pembangunan perlu menghiraukan dan memperhitungkan pola kehidupan yang sedang berlangsung di masyarakat. Kondisi ini harus diberi nilai dan jangan sekali-kali diubah dengan cara perombakan. Kondisi masyarakat setempat perlu dihargai, yaitu dengan cara apresiasi. Penghargaan dan pemberian nilai pada kondisi kehidupan masyarakat tersebut, adalah suatu cara menyukseskan pengembangan potensi masyarakat sesuai dengan yang diidamkan. Nilai positif diefektifkan dan dikembangkan, sedangkan nilai yang dipandang negatif diblokir, dan secara perlahan dihilangkan. Sementara itu nilai baru (inovatif) diperkenalkan untuk dihargai masyarakat sebagai nilainya sendiri (Maskun, 1992).

Komunitas masyarakat dengan berbagai aktifitas dan dinamikanya, berintegrasi dalam sistem nasional melalui apa yang dinamakan sebagai tatanan penghantar (delivering system) dan tatanan peraih (acquiring system). Tatanan penghantar menyediakan berbagai aspek yang meliputi antara lain Iptek, informasi, sarana, pinjaman modal, pelayanan dan jasa, yang merupakan kebutuhan utama dari tatanan peraih, yakni masyarakat target pembangunan (Adjid, 1995).

Agar tatanan peraih benar-benar mampu memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh tatanan penghantar, yang sesungguhnya memang menjadi bagian dari haknya, maka diperlukan proses perubahan perilaku masyarakat agar dapat beradaptasi dengan lingkungan stategisnya, melalui proses learning by doingyang dijalankan secara sinambung, dari waktu ke waktu. Untuk menuju ke arah proses learning by doing ini, potensi masyarakat perlu dibangkitkan. Keinginan mereka untuk memperbaiki kehidupannya perlu ditumbuhkembangkan agar menjadi pemicu yang kuat menumbuhkan semangat kewirausahaan (enterpreneurship).

Solusi penyelesaian problema dan alternatif pengembangan usaha yang ditawarkan perlu menyentuh kepentingan masyarakat yang mendasar, yang dapat dirasakan manfaatnya. Karena itu pembangunan haruslah (Flavier, 1992):

1.      Bersifat sederhana, kalau masyarakat kurang mengerti, atau sosialisasi suatu proyek kurang dilaksanakan, maka proyek akan gagal sebelum dilaksanakan.

2.      Bersifat ekonomis, tercakup dalam pengertian ini adalah sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dikuasai masyarakat, serta ada insentif ekonomi yang dapat dipetik langsung dari proyek tersebut.

3.      Bersifat praktis, sehingga masyarakat mudah menerapkannya.

4.      Harus dapat ditiru, sehingga dapat dicontoh oleh yang lain. Proyek yang eksklusif sulit memberikan dampak yang nyata bagi pembangunan secara meluas.

Dalam era globalisasi di mana informasi semakin dapat masuk mencapai pelosok-pelosok serta kontak antara individu dan wilayah menjadi lebih gampang, tampaknya terdapat kecenderungan bahwa golongan dan wilayah yang lemah akan semakin terbenam dalam kemiskinannya, karena kalah dan terdesak dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan golongan dan wilayah lain yang lebih kuat dan berpunya. Karena itu pembangunan desa haruslah dijadikan orientasi utama. Pembangunan desa ini mengawali fokusnya pada upaya-upaya untuk pemberdayaan sumberdaya manusia, yakni masyarakat desa itu sendiri. Berbagai kemampuan mereka yang masih bersifat potensial perlu dibangkitkan.

Banyak program yang telah dilaksanakan untuk membantu masayarakat miskin di pedesaan, bahkan jauh sebelum program IDT diterapkan. Namun banyak di antara program tersebut yang tidak mampu menjangkau sasarannya secaratepat. Hayami dan Kikuchi (1991) menemukan fakta bahwa ekonomi pedesaan cenderung terpolarisasi ke arah stratifikasi masyarakat, yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok utama. Kedua kelompok ini sangat berbeda peluangnya untuk berpartisipasi dan menikmati kegiatan-kegiatan pembangunan. Kelompok yang kuat, karena penguasaan dan kemampuan sumberdaya yang dimilikinya lebih baik, akan dapat menangkap peluang-peluang dan kesempatan berusaha yang lebih baik pula, sementara yang lemah selalu tersisih dalam persaingan. Bahkan tidak jarang kelompok yang kuat mengatasnamakan kelompok yang lemah untuk mengeruk keuntungan, seperti misalnya yang sering terjadi dalam pemanfaatan fasilitas pelayanan kredit bunga bersubsidi dan bantuan input untuk produksi pertanian.

Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya dapat dihindarkan kalau kendala untuk ikut memasuki (barrier to entry) berbagai program bantuan bagi golongan masyarakat miskin dapat diminimalkan. Bentuk kendala ini bermacam-macam, dapat berupa kendala internal, yakni kendala-kendala yang muncul akibat kelemahan-kelemahan pada individu golongan masyakarakat miskin, adapula yang berupa kendala eksternal, yaitu kendala-kendala yang muncul dari luar, misalnya berupa prosedur yang asing, adanya biaya transaksi, keharusan menyediakan jaminan, dan berbagai bentuk lainnya yang menyulitkan bagi golongan tak berpunya. Namun menurut Flavier (1992) berdasarkan pengalamannya di beberapa desa di Filipina dalam mengintroduksikan programPhilippine Rural Reconstruction Movement (PRRM), bahwa masyarakat pedesaan itu potensinya besar untuk berkembang, namun karakteristik problema dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan problema tersebut sangat unik dan khas, sehingga pendekatan program secara meluas dalam bentuk yang uniform, sukar memberikan hasil yang memuaskan.

Melakukan pembangunan bagi masyarakat perlu memperhatikan kondisi dan karakter kehidupan masyarakat, yang nyata-nyata berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu desa dengan desa yang lain. Cara-cara yang diseragamkan tidak dapat efektif pada masyarakat, karena tidak memperhatikan dan mengakomodasikan dengan baik, perbedaan-perbedaan dalam hal tradisi, tipe wilayah, kekuatan adat, cara hidup, keadaan fisik, lingkungan dan lain-lain (Maskun , 1992).


4.  Hubungan Antara Peningkatan Pendapatan dengan Kesejahteraan Masyarakat.

Strategi pembangunan pertanian pada periode PJPT II dan terutama pada REPELITA VI diarahkan pada upaya mewujudkan pertanian yang tangguh, maju dan efisien yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mensejahterakan petani, pekebun, peternak dan nelayan. Tujuan tersebut dicapai melalui empat usaha pokok pembangunan pertanian yaitu diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.

Setiap kegiatan pembangunan, termasuk pembangunan pertanian adalah dimaksudkan untuk dapat memperbaiki taraf kehidupan masyarakat.Peningkatan produksi dan produktivitas pertanian semata-mata bukanlah merupakan jaminan bagi tercapainya hal tersebut. Agar kesejahteraan petani menjadi lebih baik mereka perlu memperoleh pendapatan yang lebih besar. Produksi yang tinggi tanpa adanya jaminan pemasaran yang baik untuk produk yang dihasilkan tersebut, tidaklah akan menambah pendapatan petani, sebaliknya bahkan dapat membuat petani kehilangan bagian dari perolehannya dalam bentuk jatuhnya harga jual produk akibat kemampuan petani yang rendah untuk mengakses pasar.

Salah satu ciri dari pertanian di Indonesia adalah pemilikan lahan pertanian yang sempit, sehingga dengan demikian penguasaan pertanian di Indonesia dicirikan oleh banyaknya rumah tangga tani yang berusaha tani dalam skala kecil. Akibatnya petaninya sebagian besar adalah petani-petani kecil.



Petani kecil di Indonesia dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut :
Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari 240 kg beras perkapita pertahun.
- Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu kurang dari 0,25 ha lahan sawah di Jawa atau 0,50 ha di luar Jawa.
- Petani yang kekurangan modal dan memliki tabungan yang terbatas.
- Petani yang kurang berpengetahuan dan kurang dinamik.

Dalam banyak kenyataan, keadaan petani kecil di negara-negara berkembang adalah beragam, namun tetap pada penguasaan sumber daya yang terbatas.Seorang petani kecil umumnya memiliki tingkat pendapatan dan penghasilan yang kecil dan jauh dari cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan hidup yang layak. Namun demikian, walaupun pendapatan dan pengahasilan mereka jauh di bawah tuntutan kehidupan modern, bagi mereka tampaknya tidak terlalu mengganggu, terutama selama mereka masih bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka seperti, sandang, pangan dan papan. Meskipun sebenarnya pemenuhan ini masih dalam kualifikasi yang jauh di bawah standar dan jauh untuk bisa dikatakan kesejahteraan hidup mereka telah tercapai.

Mengingat sifat dasar perekonomian petani yang bermukim di pedesaan, maka kendala yang dihadapi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan adalah:

1.      Modal yang dimiliki relatif kecil.

2.      Sifat-sifat alami yang dimiliki oleh sumber daya alam, seperti sifat fisika dan kimia tanah, kemiringan tanah/lahan, curah hujan, sarana pengairan.

3.      Teknologi yang tersedia masih bersifat sederhana.

4.      Status penguasaan lahan, karena petani tidak selalu berstatus sebagai pemilik lahan.

5.      Luas lahan yang diusahakan yang relatif sempit.

Hal ini seringkali menjadi kendala-kendala yang signifikan untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Petani berlahan sempit seringkali tidak dapat menerapkan usaha tani yang intensif, karena selain modalnya sangat terbatas, juga bagaimanapun ia harus melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar usaha taninya.

Masalah lain yang menonjol pada perekonomian rakyat di pedesaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan masih rendahnya produktivitas usaha tani. Produktivitas tersebut pada dasarnya sangat tergantung dari potensi dan sumber daya (alam dan manusia) yang tersedia dan aktivitas kelembagaan yang ada.

Sebagian besar penduduk yang tinggal dipedesaan hidup dari sektor pertanian, baik pertanian pangan, perkebunan, perternakan maupun perikanan dalam skala kecil, ini dicirikan dengan sempitnya lahan garapan dan modal yang terbatas. Penggunaan saprodi pada tingkat rendah, sehingga seringkali produktivitas dari usaha tani mereka rendah, mengakibatkan pendapatan yang diharapkan sangat kecil dan ini akan menghambat petani meraih kehidupan yang kesejahteraannya baik.

Kemiskinan terjadi karena penguasaan sumber ekonomi rendah akibatnya kemampuan produksi rendah dan produktivitaspun rendah. Rendahnya produktivitas berakibat rendahnya pendapatan dan karena itu ia miskin. Oleh karena itu untuk mengentaskan kemiskinan perlu ada kebijaksanaan pemerintah, misalnya berupa kredit yang diberikan kepada petani yang memungkinkan bagi petani (termasuk golonangan miskin) untuk akses padanya.Dengan tindakan ini dapat diharapkan produktivitas akan meningkat dan pendapatan pun akan meningkat pula. Peningkatan pendapatan petani akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan demikian produktivitas meningkat, pendapatan meningkat maka kesejahteraan petani akan baik.


E. Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Prestasi pembangunan ekonomi yang dilihat dari indikator pendapatan perkapita telah banyak mendapat kritik. Untuk melengkapi ukuran prestasi pembangunan ekonomi digunakan juga indikator distribusi pendapatan. 

Distribusi pendapatan mengukur ketimpangan atau kemerataan pembagian hasil-hasil pembangunan yang diterima rakyat. 


Ukuran distribusi pendapatan: 

1.     KURVA LORENZ 

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendaptan nasional dikalangan lapisan penduduk. Kurva Lorenz ditunjukkan oleh garis diagonal dalam box.

            Presentasi Jumlah Penduduk



2.     INDEKS GINI 

Indeks Gini adalah suatu koefisien yang menunjukkan tingkat ketimpangan atau kemerataan distribusi pendapatan. Nilai koefisien gini (G) antara 0 dan 1 (0<g<1).< font="">
Rumus indeks gini: 

          n
G = 1 - E (Xi+1 - Xi) (Yi + Yi+1)
          1
                   n
G = 1 - E fi (Yi + Yi+1)
          1
Keterangan:
G = Indeks gini
Fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas I
Xi = proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas I
Yi = proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas I</g<1).<>



3.     KRITERIA BANK DUNIA 

Bank Dunia membagi penduduk dalam tiga kelas, yaitu 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menegah, dan 20% penduduk berpendapatan rendah menerima bagian pendapatan nasional.


            Adapun kriteria, bila penduduk berpendapatan rendah: 
Menerima < 12% pendapatan nasional: ketimpangan tinggi
Menerima 12 - 17% pendapatan nasional: ketimpangan sedang
Menerima > 17% pendapatan nasional: ketimpangan rendah


Pentingnya pembahasan mengenai ketimpangan distribusi pendapatan, karena berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Makin timpang distribusi pendapatan secara tidak langsung mencerminkan makin banyak penduduk miskin. 

Selain itu, aspek pemerataan pembangunan secara teoritis sering diperhadapkan dengan konsep efisiensi dan pertumbuhan.

Pemerintah sudah memulai sejak Pelita III untuk mengupayakan pemerataan pendapatan pembangunan dan hasil-hasilnya. hal ini tercermin pada kebijaksanaan delapan jalur pemerataan:

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan.

a.     Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

b.     Pemerataan pembagian pendapatan.

c.      Pemerataan kesempatan kerja.

d.     Pemerataan kesempatan berusaha.

e.     Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusuanya bagi generasi muda dan wanita.

f.       Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air.

g.     Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.


Dalam konteks pemerataan pembagian pendapatan dapat dilihat dari aspek:

a.     Antarlapisan masyarakat 

b.     Antardaerah (desa-kota) 

c.      Antarwilayah (Propinsi/Kabupaten)



BAB III

PENUTUP (KESIMPULAN)


Pembangunan itu harus berarti pembangunan manusia seutuhnya, bukan pembangunan dalam arti fisik saja (bangunan, jalan, bendungan dan lain sebagainya). Pembangunan harus dapat dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan dapat menjamin tercapainya pemerataan dalam jangka panjang.

Alokasi penggunaan dana untuk pendidikan dan kesehatan harus lebih diprioritaskan. Kebijakan pemerintah harus dibuat supaya pendidikan dan kesehatan dapat lebih dirasakan langsung oleh masyarakat. Melalui program pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan diharapkan dapat menciptakan sumber daya manusia yang produktif. Sumber daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam keberhasilan pembangunan jangka panjang.

Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana pendidikan dan kesehatan harus dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah harus tegas menindak penyelewengan yang terjadi. Penggunaan dana yang efisien dan efektif akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat sehingga mampu menciptakan sumber daya manusia yang produktif. Sumber daya manusia yang produktif menghantarkan negara pada keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di dunia internasional.

                                                     

DAFTAR PUSTAKA


·    2006. Public Expenditure Statistical Analyses (PESA) 2006, published 15 May 2006.

·        vailable online at http://www.hm-treasury.gov.uk

·  Byung, Seo Yoo. 2005. Korea’s Experience on Linking Planning and Budgeting.

·    During the Development Era and Recent Reform. Ministry of Planning and Budget Republic of Korea. Seoul.

·    Djamaluddin, H. M. Arief. 2006. Diktat Kuliah Perencanaan Pembangunan. Universitas Borobudur. Jakarta.

·   Krugman, Paul R., dan Obstfeld, Maurice. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan, Edisi Kelima, Jilid 1. PT Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta.

·     Staff of Asian Development Bank. 2006. Asian Development Outlook 2006. Asian

·        Development Bank. Available online at http://www.adb.org.

·      Staff of the International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. 2005. World Development Report 2006: Equity and Development. Oxford University Press. New York.

· Wirasasmita, Yuyun. 2006. Catatan Kuliah Ekonomi Pembangunan. Universitas Borobudur. Jakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar